Rabu, 03 November 2010

Kisah di Sebuah Malam

“Cinta tak harus memiliki… Siapa yang percaya sama kalimat itu?”

Si kacamata merah memecah hening malam itu. Perempuan tua dengan wajah bersahaja di ruangan itu memandang ke arah cucunya tak berkomentar, hanya tersenyum..

“Aku nggak percaya. Aku dulu nggak percaya…”

Si kacamata merah melanjutkan omongannya lalu terhenti sejenak, berdeham membersihkan tenggorokan, matanya sedikit menerawang tapi tak sedikitpun menoleh pada sang nenek, seperti berbicara pada tembok sedangkan neneknya tidak sedikitpun memalingkan wajah dari cucunya bahkan ketika si cucu masih belum melanjutkan kalimatnya. Setelah berdeham sekali lagi, ia melanjutkan.

“Ya, aku dulu nggak percaya. Buat aku, yang namanya jatuh cinta ya harus memiliki. Harus bisa menyentuh, harus bisa merasakan hangat tubuhnya, kulit beradu kulit, bibir dan bibir bersentuhan, saling memberi perhatian, ada racikan rasa cemburu ketika merasa tak diperhatikan ditambah ramuan posesif yang dicampur dengan sedikit rasa self-pity.”

Kali ini sang nenek mulai menggeser posisinya mendekati si cucu. Tertarik sekaligus menyadari cucunya bukan anak kecil lagi. Cucunya sedang bicara tentang cinta, setidaknya cinta dalam sudut pandangnya.

“Dulu umurku lima belas tahun waktu aku pertama kalinya yakin aku jatuh cinta. Ketika pada akhirnya aku tidak bisa bersama dia, aku bingung apa yang terjadi padaku. Aku menangis berhari-hari merasa menjadi yang paling malang di dunia karena aku tidak bisa bersama dia. Kemudian ada sedikit rasa marah dan sebuah pertanyaan, kenapa pada akhirnya dia memilih untuk tidak bersamaku? Lalu dilanjut dengan serangkaian doa yang mengharapkan hubungannya dengan pacarnya segera berakhir. Aku jahat.”

Si kacamata merah menggeser duduknya lebih merapat tembok dan melanjutkan ceracaunya.

“You can’t forget a person you love so much no matter how much you try to do it. It’s impossible unless you learn to love somebody else…”

Quote favorit si kacamata merah. Ia melafalkannya seakan sedang membaca teks saking hafalnya diluar kepala.

“Setelah delapan tahun, aku jatuh cinta lagi. Kali ini pada orang yang berbeda. Dia bisa membuat aku melupakan yang lama dengan cara yang sangat misterius. Ntah mantra apa yang ia gunakan, sejak menyukainya aku benar-benar kehilangan hasrat pada lelaki yang aku suka sejak delapan tahun yang lalu.”

Senyum masih terkembang di wajah sang nenek, namun kali ini matanya menyiratkan selidik, bertanya-tanya, siapa yang berhasil membuat cucunya jatuh cinta untuk kedua kalinya. Ia tak penasaran dengan yang lama, cucunya tak pernah berhenti meracau tentang yang lama selama delapan tahun kebelakang. Tapi, siapa lelaki yang membuatnya jatuh cinta untuk kedua kalinya? Jarak antara si kacamata merah dan neneknya semakin sedikit.

“Mirisnya, pada akhirnya tetap tidak bersatu…”

Sang nenek bersiap untuk melihat awan hitam menggelayut di wajah cucunya. Tetapi kali ini perkiraannya salah. Si cucu malah tersenyum dan melanjutkan bercerita.

“Tapi, tak pernah ada sesal di sini. Tak ada self-pity yang mengganggu. Ntah kenapa, aku ikhlas. Kali ini, bukan rasa ingin memiliki… Apa ini cinta? Aku juga tak tahu. Aku menikmati setiap waktuku bersama dia, aku betah berlama-lama memperhatikan wajahnya walaupun tak sekalipun berani menatap langsung matanya karena nanti jantungku berdebar tidak karuan serasa hampir mau copot, tak pernah ada rasa terganggu sewaktu dulu ia intens menghubungi aku lewat layar yahoo messenger, terkadang aku mencari-cari alasan supaya bisa menemui dia hanya karena aku kangen melihat wajahnya dari dekat. Akhirnya, aku tak bisa bersama dia. Tapi, bukan marah yang aku rasa, bukan sedih yang dominan, tapi ikhlas…”

Ingin sekali sang nenek merengkuh si cucu yang belum selesai bercerita. Ia tidak menyangka, cucu perempuan paling bandel sekaligus paling cengeng yang ia miliki sekarang bisa berbicara seperti ini sambil tersenyum. Tapi diurungkan niatnya, cucunya sudah besar. Tingginya sudah bertambah berpuluh-puluh centi dibandingkan dulu sewaktu ia mengantar neneknya pergi dan menangis meraung-raung tidak berhenti karena takut tak bertemu lagi.

“Ikhlas… Itu yang dominan… Aneh bukan? Kalau dulu, aku berdoa supaya yang aku sukai segera putus dengan pacarnya, kali ini aku meminta pada Tuhan: aku hanya ingin bisa lebih mengenal dia, lebih dekat dengan dia, dan bisa selalu ada bersama dia jika dia membutuhkan aku. Sebagai teman. Aku tidak akan meminta lebih. Dengan begitu, ntah kenapa, aku percaya aku akan bahagia. Aku tak perlu memiliki dia untuk menjadi bahagia. Aku kira aku akan menangis tidak berhenti seperti delapan tahun kemarin. Tapi, aku salah.”

Sang nenek mengangguk mengiyakan, ia tidak bisa menyangkal, ia pun tadi mengira cucunya akan menangis lagi kali ini.

“Aku lega… Aku ikhlas… Dan aku sadar satu hal. Logika kali ini tidak berjalan. Aku tidak menemukan alasan kenapa aku bisa seikhlas ini. Kali ini aku hanya mengikuti apa yang dikatakan hati… Dan kali ini pilihanku untuk mengikuti hatiku ternyata benar… Semua ini membuatku percaya, cinta memang tidak harus memiliki. Aneh bukan? Lebih jauh lagi, aku semakin yakin cinta itu bukan self-pity untuk dijadikan alasan menangis bertahun-tahun karena tidak bisa bersama dengan seseorang, cinta bukan possessiveness untuk dijadikan alasan membuat seseorang dilabeli ‘this person belongs to me’, bukan pula rasa untuk mengumumkan ‘ini punya saya. jangan disentuh apalagi digoda!’ cinta itu tidak sedangkal yang selama ini aku kira.”

Si kacamata merah terdiam sejenak lalu tersenyum lagi. Kali ini senyumnya lebih seperti menertawakan diri sendiri.

“Ah, aku ini bicara apa? Aku memang tidak tahu banyak tentang cinta. Mungkin juga ini bukan cinta, bukan? Mungkin cuma rasa suka, rasa penasaran, atau mungkin sayang? Ah, Aku tidak mengerti. Lebih baik aku tidur.”

Ia beranjak dari tempat ia duduk, mematikan lampu kamar, menghampiri tempat tidur, menarik selimut, kemudian menghadap tembok.

“Tembok, kamu jangan bosen-bosen denger cerita aku ya…”

Ia menutup mata dan mencoba tidur.
Sang nenek, masih tersenyum sambil duduk ditepi ranjang cucunya. Cucunya bicara dengan tembok. Bukan pertama kalinya ia melihat hal itu. Sejak ia pergi sepuluh tahun yang lalu, sesekali ia diam-diam mengunjungi cucunya bahkan sampai cucunya pun tak menyadari keberadaannya di sana. Mendengarkan racauan cucunya sampai si cucu lelah dan tertidur. Tapi si cucu tak pernah sekalipun bercerita lagi padanya seperti dulu, si cucu lebih suka bercerita dengan tembok. Dielusnya rambut sang cucu, sedikit kecupan di dahi lalu ia beranjak dari tempat tidur, sedikit demi sedikit sosoknya menjadi bayangan dan menghilang. Kunjungan ke kamar cucunya 
sudah berakhir, ia harus kembali ke tempatnya, dunianya di sana…




Tidak ada komentar: