Senin, 22 Februari 2010

Cokelat....i like it :)

Mataku terpaku pada dua lingkar donat berwarna cokelat yang terletak menumpuk satu sama lain. Donat cokelat berlamur cokelat, yang aku yakin bila aku membelahnya, akan ada lagi cokelat yang meleleh dari dalamnya. Lantas, di sisi kanan semuanya itu, ada secangkir cokelat panas yang masih mengepulkan asapnya. Mulutku membuka, membiarkan jemariku mengayunkan bongkahan terakhir dari donat pertama yang sejak tadi menemani waktu santaiku sambil menonton televisi. Hei, tiga buah donat cokelat? Secangkir cokelat panas? Ada apa ini?
Entah mengapa. Seminggu ini tiba-tiba aku begitu tergila-gila dengan cokelat. Usai sarapan, aku mengunyah cokelat. Saat makan siang, apapun makanannya, dua potong cokelat berbentuk segitiga seolah jadi penyulut rasa lezat. Malam hari, segelas cokelat panas berharap memberi rasa hangat. Ah, ada apa ini?

Hari ini, Selain tiga buah donat dan secangkir cokelat hangat, di lemari pendinginku juga ada beberapa jenis cokelat. Dari yang murni cokelat, es cream rasa coklat, hingga permen yang berisi cokelat...Ya, mungkin saja dengan cokelat, berbagai gagasan akan segera kudapat. Gagasan? Ya, gagasan apa saja..mungkin Gagasan tersembunyi, yang kerap perlu kita gali sendiri. Meski mungkin saja ada gagasan yang sesekali terlahir begitu saja tanpa disadari, tanpa disengaja, atau bahkan tanpa perlu pengail seperti yang kulakukan ini. Pengail? Ya. Untuk memancing ikan, kita perlu kail. Untuk memancing gagasan? Apalagi.
Mungkin sama halnya dengan beberapa orang. Ada yang membutuhkan pengail demi sesuatu yang ingin ia dapat. misalkan seorang musisi atau pencipta lagu, mungkin butuh suasana yang bisa mendukung proses penciptaannya; sebagai kail bagi gagasan yang mungkin saja berada di alam bawah sadarnya. Misalnya, suasana penuh keheningan, berada dekat dengan alam, atau bahkan menyatu dengan pengalaman keindahan magis yang hanya bisa dirasakannya sendiri namun ingin dibagi.

Ya, mungkin aku butuh cokelat demi gagasan yang ingin didapat. Begitulah. Ada yang butuh rehat sejenak untuk berkarya. Ada yang butuh keheningan sehening-heningnya untuk berkarya. Ada yang butuh menghirup udara segar sepuas-puasnya sebelum mulai berkarya. Atau ada yang butuh minuman beralkohol saat menciptakan sebuah karya? Selama tak berlebihan atau bergantung padanya, bagiku itu tak mengapa. Tapi keping obat-obatan pembuai jiwa atau lintingan ganja untuk berkarya, buatku itu justru omong kosong belaka!!
Hhh.. aku mengusap perut yang terasa sebah, lantaran donat cokelat ketiga baru saja tuntas terkunyah. Secangkir cokelat panas juga tinggal berisikan setengah.
Nafasku mulai terengah.
Sudah adakah gagasan yang sejak tadi kudapat lantaran berkutat dengan cokelat?
Arrgh, bukannya gagasan hebat yang tercuat, malah kini rasa aneh di perut mulai membuatku pucat.. dan, ya ampun! mengapa kini wajahku mulai kembali ditumbuhi jerawat? Aku bergegas bangkit, pikiranku hanya satu : buru-buru ke toilet!

Rabu, 10 Februari 2010

Waktu yang terhenti

Aku terpana dengan setengah mulut ternganga. Kalau saja jam meja di kamarku tidak mati mungkin aku tidak bangun kesiangan, barangkali aku belum tentu menyadari bahwa jam meja kamarku sebenarnya sudah lama mati. Ya, sudah lama sekali. Seminggu? Rasanya tidak. 2 minggu? Aku mengernyitkan kening. Tidak, bisa jadi lebih dari itu.


Mataku tegak memandang pada jam meja yang bisu terpajang. Ia terpampang di sisi dinding yang sejajar dengan pintu kamar. Kedua jarum membentuk sudut tumpul, menunjukkan pukul 10.10. Konon, seperti umumnya sebuah iklan arloji, hal itu sengaja dilakukan agar merek arloji tersebut jelas terlihat. Tapi, aku tahu bukan aku yang sengaja mengatur sudut jam itu. Bukan aku yang sengaja menghentikannya tepat pada waktu tersebut. Dan, ya, bukan aku pula yang sengaja membiarkannya terhenti dan lantas mati seperti pada saat ini.


Lantas kalau begitu dengan apa biasanya aku menebak waktu? Kusapu pandangan di meja kamar. Ada ponsel dan Ada arloji. Ya, semuanya menjadi andalanku untuk tahu waktu. Barangkali, lantaran itulah aku tidak pernah memperhatikan atau bahkan memperdulikan jam meja itu. Hingga ia akhirnya perlahan terhenti dan lalu mati.


Entah mengapa, tiba-tiba saja aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari jam meja berwarna merah muda itu. Aku tertegun seiring pikiranku yang begitu saja melayang terayun. Jarum jam meja yang terhenti seperti menjadi cermin diri. Denyut rutinitas hidup keseharian yang terus berdetak, membuatku terlupa ada hal-hal tertentu dalam hidup yang sebenarnya harus terus bergerak.


Barangkali, seperti itu pula aku menjalani hidup. Mungkin pernah sesuatu yang sebenarnya harus tetap bergerak dalam perjalanan hidupku, namun malah kubiarkan terhenti dan lalu mati. Jam meja yang mati itu kuibaratkan seperti harapan, angan, cita-cita, impian, keinginan, atau bahkan obsesi dalam hidup yang tak sempat terwujud. Namun ketika aku tak begitu ambil peduli, perlahan kesemua itu terhenti dan lalu mati.


Aku terdiam, menghela nafas panjang. Betapa celoteh benakku tentang jarum jam ini seolah falsafah ringan yang menyadari dan harus kulakoni. Dalam hidup dan kehidupanku.

Perlahan aku berjingkat di atas kasur, menggapai jam meja tadi.

Mengganti baterainya agar ia kembali berdetak.

Agar ia kembali bergerak.



Selasa, 09 Februari 2010

Menjawab Keinginanku

Mungkin dengan menulis lewat tulisan ini setidaknya ruang kelegaan itu sedikit terbuka luas, semua yang ada di benakku akan aku tumpahkan ke dalam sebuah tulisan yang bersemerautan ini :)


Kelopak mataku perlahan mengatup. Terpejam. Menihilkan segala yang tadinya jelas terlihat dalam pandang. Segala sesuatu yang semula benderang kini memudar, berganti gelap menyergap. Lalu tidak hanya itu, perlahan aku juga mencoba meniadakan apa yang tadinya ada di sekitar. Yang kurasa, kuhirup, kuraba, bahkan kudengar. Kini hanya ada aku, diriku, dan pikiranku. Barangkali inilah kesunyian paling sunyi yang pernah kualami. Ya, hanya aku sendiri. Sekali lagi, hanya aku sendiri.


Batinku bergumam. Hmm, sepertinya betapa bebas dalam kesendirian ini. Melepas pijak dari jerat gravitasi, ringan melayang dalam buana imajinasi. Harum rerumputan dan tanah basah sisa gerimis membasuh pagi. Bias garis lengkung pelangi. Semilir angin lembut menyibak anak rambut di dahi. Kicau burung riang berdendang, menyapa bunga-bunga yang tersenyum mengembang.
Aku terkesima, begitu mudahkah sesungguhnya imajinasi tercipta? Bahkan seolah mampu sejenak mengenyahkan rasa kalut yang tengah bergayut.


Tiba-tiba muncul satu pertanyaan dalam benak yang membuatku tersentak. Bila konon tak ada yang abadi di dunia sejati, bagaimana dengan dunia imajinasi? Mungkinkah keabadian ada dalam dunia imajinasi?
Kini aku terpana. Baru saja cermin hidup keseharian terbias dari sana. Ya, kerap tak pernah kita sadari bahwa begitu mudahnya sebuah pertanyaan lahir hanya demi pembenaran sebuah pernyataan. Bahkan, kerapkali kita pun lupa menyadari bahwa sebuah jawaban sebenarnya tak melulu lahir dari sebuah pertanyaan.


Aku terkesiap. Sebuah pertanyaan? Ya, beberapa menit yang lalu, aku menanyakan sesuatu pada diriku. Apakah yang saat ini aku inginkan? Aku belum mampu menjawab. Aku pikir, mungkin dengan mata terpejam, akan kutemukan jawaban yang terpendam.


"Hei. hei, hei! kenapa diem ???"
"Woi.. jangan bengong gitu doong..!"


Perlahan keriuhan yang ada mengisi bejana kesunyianku. Aku tergugah. Mataku mengerjap pada silau cahaya televisi. Di dunia imajinasi hanya ada aku sendiri. Tapi di dunia sejati, ternyata aku tak sendiri. Ada mereka. Sahabat-sahabat terdekat. membuatku menyadari betapa kehidupan ini terasa tak ada arti tanpa sahabat-sahabat terdekat.


Kini, tanpa memejam mata, sepertinya aku tau apa keinginanku..

Senin, 08 Februari 2010

Renungan di pagi hari

Perlahan dengan pasti ku buka pintu depan secara pelan tanpa ada suara, desau angin menyusup dari sela pintu yang baru saja sedikit kubuka terhirup kesegaran dan kelegaan setelah sekian waktu nafasku sesak terkurung dalam kamarku yang begitu sempit dan sesak, aku pun menarik nafas panjang dan lalu melepaskannya perlahan setidaknya rasa sesak itu perlahan pupus menghilang berharap hati dan pikiran menjadi lebih tenang, detik jam begitu nyaring terdengar di luar rumah dengan seiringnya pagi yang begitu senyap dan sunyi seakan-akan di bumi ini tidak ada penghuninya yang tinggal.

Rasa sesak itu perlahan pupus menghilang.. aku mengulangi kalimat itu dalam batin. Hei, mengapa sepertinya aku tengah tersadar pada satu pencerahan? Ya, aku coba untuk menganalogikan rasa sesak yang tercipta itu sebagai beragam perasaan di hati yang bertumpuk-tumpuk dan tak terkendali di pagi hari seperti perasaan yang bercampur aduk, rasa kecewa yang membuat kita tak mampu memaafkan sebuah kesalahan!

Aku tertegun. Barangkali selama aku belum pernah bisa membuang perasaan-perasaan yang kerap membuat hatiku begitu sesak, aku tak akan pernah menemukan ruang di hati yang sesungguhnya begitu lebar dan begitu luas. Ruang yang sebenarnya memberi kelegaan tak berbatas. Ya, sebab misalnya saja aku tidak bisa memaafkan kesalahan seseorang, maka sampai kapanpun rasa dendam itu masih ada dan menyita ruang kelegaan yang ada.

Aku percaya bahwa bila ruang kelegaan itu mulai terasa luas, rasanya seperti baru saja terbebas dari kemacetan jalan, terbebas dari antrian panjang, terbebas dari himpitan beban!


Tak terasa arlojiku sudah menujukan pukul 03.15 tidak ada rasa kantuk sedikit pun yang ada cuma hanya rasa gelisah yang bercampur aduk, dalam hati bergumam hei, kenapa ini ? apa yang telah aku lakukan ? ada apa yang sebenarnya terjadi! rasanya tidak percaya kalau suatu masalah yang begitu besar sedang aku lalui tapi sebesar apapun aku mesti lewati, menyelesaikan dengan baik dan tidak bisa lari begitu saja.


Aku tertegun dan lagi lagi bergumam dalam batinku apakah kesalahan aku begitu sangat patal ? sehingga dia begitu sangat benci padaku ? apa yang harus aku lakukan ? aku harus gimana ? aku mengingat lagi waktu mundur 30 menit yang lalu aku mengingat dengan jelas dan membaca sebuah pesan dengan kata-kata yang sangat teramat menyakitkan buatku, tanpa memikirkan perasaan aku waktu itu, sakit rasanya melebihi sakitnya di iris iris pisau tapi dalam hatiku aku mesti sabar mungkin dia menulis pesan seperti itu cuma hanya emosi yang meledak-ledak sesaat saja, aku berusaha memaafkan dia meskipun dia tidak minta maaf sedikut pun atas kata-kata yang telah di kirimkan lewat pesan itu.


Tanpa ku sadari mataku beralih ke sebuah hape lalu aku memutar lagu yang ada di hape dan tak menyangka terdengar sebuah nada suara yang begitu merdu dengan syair seperti ini " semakin dalam ku merindukanmu, semakin jauh kau pergi dariku, semakin jauh ku mencintaimu, semakin dalam kau hancurkan aku " ( alexa ) saat mendengar syair lagu itu tak terasa air mataku mulai mengalir lagi dan aku bergumam dalam hati kecil ini lagu mungkin mewakili isi hati aku buat dia, apa mungkin seperti itu ? lagi lagi aku berpikiran yang tidak tidak, mudah-mudahan ini cuma hanya pikiran aku saja dan aku cuma hanya terbawa suasana dalam lagu itu.


Dalam hati aku berdoa mudah-mudahan masalah ini bisa cepat selesai, mudah-mudahan kita bisa bersama lagi tanpa harus ada penghalang apapun, mudah-mudahan ini hanya cobaan buat kita berdua, mungkin tuhan lagi menguji kita apa kita berdua bisa lalui semuanya ini? tapi aku yakin kita bisa melaluinya dengan baik, aku yakin kita bisa kaya dulu lagi, mungkin kita cuma hanya butuh waktu lagi untuk memulainya kembali, semoga masalah yang kita hadapi bisa terselasaikan, dan aku akan buktikan pada dia kalau aku bisa, aku mampu, aku bisa menjadi yang terbaik buat dia dengan seiringnya waktu yang berjalan pasti dan yakin aku bisa lalui semuanya ini, aku minta kepadamu ya tuhan berikanlah kita kesabaran dalam cobaan yang engkau berikan, bukakanlah pintu hatinya dia buatku agar kita bisa bersama lagi dan semoga dia bisa nerima aku apa adanya, dan sampai kapanpun aku akan meyayangi dia sampai ajal menjemputku...i love u so much


Dari luar rumah aku menatap langit pagi yang bertabur gemintang bintang. Barangkali ruang hatiku tidak selega langit luas. Tapi bila aku mulai belajar gimana cara menyikapi hidup ini, belajar gimana caranya bersikap, belajar gimana caranya bertutur kata, belajar gimana caranya bisa terbuka lagi ma dia, belajar gimana caranya memaafkan dan mengampuni kesalahan orang lain, baik disengaja ataupun lantaran kelalaian, ruang itu akan terasa lega dan seluas langit yang kulihat di atas, Setidaknya, bagi aku...