Minggu, 28 November 2010

mungkin saya tidak dewasa

semua sedang terdengar, terlihat, dan terbaca salah oleh semua indera saya. pertanyaan yang sedang mengganggu saya adalah apakah indera saya mengartikan semua salah dan semua hanya asumsi belaka saya yang akan dan selalu tidak tepat atau memang semua sudah kenyataan adanya dan sebenar-benarnya dan saya menolak untuk mendengarnya?

saya sudah berusaha sekuat saya. tetapi tetap saja, ternyata saya butuh ruang yang lebih besar dan waktu yang sungguh lamanya untuk bisa melihat segala sesuatunya.

saya mungkin tidak dewasa karena saya memilih untuk menghapusnya, yang saya tahu hanya amnesia yang bisa melakukannya - itu aja bisa dateng lagi ingetannya. bohong kalau saya bilang saya akan lupa semuanya. ibarat seperti tato, semuanya sudah tertulis dikepala dan hati saya tanpa terkecuali dan semuanya akan berhamburan keluar untuk diminta diingat kembali ketika sesuatu hal memancingnya. jadi, untuk saat ini, saya mencoba mengeliminasi apapun yang bisa memancing semua itu keluar dari diri saya. 

Kamis, 11 November 2010

Nasi Bebek,,

Sandy   : Bang pesen nasi bebeknya 2 ya,,
Abang   : Ok,,
( beberapa menit kemudian si abang mengampiri kita ber2 sambil membawa 2 piring nasi bebek )
Saya     : Bang nasinya kebanyakan, boleh di kurangin,,
Abang   : Kasihin z nasinya ma suaminya,,
Saya & Sandy : Hening............
( sambil tatap2an & seyum mesam mesem :) )

Rabu, 03 November 2010

Kisah di Sebuah Malam

“Cinta tak harus memiliki… Siapa yang percaya sama kalimat itu?”

Si kacamata merah memecah hening malam itu. Perempuan tua dengan wajah bersahaja di ruangan itu memandang ke arah cucunya tak berkomentar, hanya tersenyum..

“Aku nggak percaya. Aku dulu nggak percaya…”

Si kacamata merah melanjutkan omongannya lalu terhenti sejenak, berdeham membersihkan tenggorokan, matanya sedikit menerawang tapi tak sedikitpun menoleh pada sang nenek, seperti berbicara pada tembok sedangkan neneknya tidak sedikitpun memalingkan wajah dari cucunya bahkan ketika si cucu masih belum melanjutkan kalimatnya. Setelah berdeham sekali lagi, ia melanjutkan.

“Ya, aku dulu nggak percaya. Buat aku, yang namanya jatuh cinta ya harus memiliki. Harus bisa menyentuh, harus bisa merasakan hangat tubuhnya, kulit beradu kulit, bibir dan bibir bersentuhan, saling memberi perhatian, ada racikan rasa cemburu ketika merasa tak diperhatikan ditambah ramuan posesif yang dicampur dengan sedikit rasa self-pity.”

Kali ini sang nenek mulai menggeser posisinya mendekati si cucu. Tertarik sekaligus menyadari cucunya bukan anak kecil lagi. Cucunya sedang bicara tentang cinta, setidaknya cinta dalam sudut pandangnya.

“Dulu umurku lima belas tahun waktu aku pertama kalinya yakin aku jatuh cinta. Ketika pada akhirnya aku tidak bisa bersama dia, aku bingung apa yang terjadi padaku. Aku menangis berhari-hari merasa menjadi yang paling malang di dunia karena aku tidak bisa bersama dia. Kemudian ada sedikit rasa marah dan sebuah pertanyaan, kenapa pada akhirnya dia memilih untuk tidak bersamaku? Lalu dilanjut dengan serangkaian doa yang mengharapkan hubungannya dengan pacarnya segera berakhir. Aku jahat.”

Si kacamata merah menggeser duduknya lebih merapat tembok dan melanjutkan ceracaunya.

“You can’t forget a person you love so much no matter how much you try to do it. It’s impossible unless you learn to love somebody else…”

Quote favorit si kacamata merah. Ia melafalkannya seakan sedang membaca teks saking hafalnya diluar kepala.

“Setelah delapan tahun, aku jatuh cinta lagi. Kali ini pada orang yang berbeda. Dia bisa membuat aku melupakan yang lama dengan cara yang sangat misterius. Ntah mantra apa yang ia gunakan, sejak menyukainya aku benar-benar kehilangan hasrat pada lelaki yang aku suka sejak delapan tahun yang lalu.”

Senyum masih terkembang di wajah sang nenek, namun kali ini matanya menyiratkan selidik, bertanya-tanya, siapa yang berhasil membuat cucunya jatuh cinta untuk kedua kalinya. Ia tak penasaran dengan yang lama, cucunya tak pernah berhenti meracau tentang yang lama selama delapan tahun kebelakang. Tapi, siapa lelaki yang membuatnya jatuh cinta untuk kedua kalinya? Jarak antara si kacamata merah dan neneknya semakin sedikit.

“Mirisnya, pada akhirnya tetap tidak bersatu…”

Sang nenek bersiap untuk melihat awan hitam menggelayut di wajah cucunya. Tetapi kali ini perkiraannya salah. Si cucu malah tersenyum dan melanjutkan bercerita.

“Tapi, tak pernah ada sesal di sini. Tak ada self-pity yang mengganggu. Ntah kenapa, aku ikhlas. Kali ini, bukan rasa ingin memiliki… Apa ini cinta? Aku juga tak tahu. Aku menikmati setiap waktuku bersama dia, aku betah berlama-lama memperhatikan wajahnya walaupun tak sekalipun berani menatap langsung matanya karena nanti jantungku berdebar tidak karuan serasa hampir mau copot, tak pernah ada rasa terganggu sewaktu dulu ia intens menghubungi aku lewat layar yahoo messenger, terkadang aku mencari-cari alasan supaya bisa menemui dia hanya karena aku kangen melihat wajahnya dari dekat. Akhirnya, aku tak bisa bersama dia. Tapi, bukan marah yang aku rasa, bukan sedih yang dominan, tapi ikhlas…”

Ingin sekali sang nenek merengkuh si cucu yang belum selesai bercerita. Ia tidak menyangka, cucu perempuan paling bandel sekaligus paling cengeng yang ia miliki sekarang bisa berbicara seperti ini sambil tersenyum. Tapi diurungkan niatnya, cucunya sudah besar. Tingginya sudah bertambah berpuluh-puluh centi dibandingkan dulu sewaktu ia mengantar neneknya pergi dan menangis meraung-raung tidak berhenti karena takut tak bertemu lagi.

“Ikhlas… Itu yang dominan… Aneh bukan? Kalau dulu, aku berdoa supaya yang aku sukai segera putus dengan pacarnya, kali ini aku meminta pada Tuhan: aku hanya ingin bisa lebih mengenal dia, lebih dekat dengan dia, dan bisa selalu ada bersama dia jika dia membutuhkan aku. Sebagai teman. Aku tidak akan meminta lebih. Dengan begitu, ntah kenapa, aku percaya aku akan bahagia. Aku tak perlu memiliki dia untuk menjadi bahagia. Aku kira aku akan menangis tidak berhenti seperti delapan tahun kemarin. Tapi, aku salah.”

Sang nenek mengangguk mengiyakan, ia tidak bisa menyangkal, ia pun tadi mengira cucunya akan menangis lagi kali ini.

“Aku lega… Aku ikhlas… Dan aku sadar satu hal. Logika kali ini tidak berjalan. Aku tidak menemukan alasan kenapa aku bisa seikhlas ini. Kali ini aku hanya mengikuti apa yang dikatakan hati… Dan kali ini pilihanku untuk mengikuti hatiku ternyata benar… Semua ini membuatku percaya, cinta memang tidak harus memiliki. Aneh bukan? Lebih jauh lagi, aku semakin yakin cinta itu bukan self-pity untuk dijadikan alasan menangis bertahun-tahun karena tidak bisa bersama dengan seseorang, cinta bukan possessiveness untuk dijadikan alasan membuat seseorang dilabeli ‘this person belongs to me’, bukan pula rasa untuk mengumumkan ‘ini punya saya. jangan disentuh apalagi digoda!’ cinta itu tidak sedangkal yang selama ini aku kira.”

Si kacamata merah terdiam sejenak lalu tersenyum lagi. Kali ini senyumnya lebih seperti menertawakan diri sendiri.

“Ah, aku ini bicara apa? Aku memang tidak tahu banyak tentang cinta. Mungkin juga ini bukan cinta, bukan? Mungkin cuma rasa suka, rasa penasaran, atau mungkin sayang? Ah, Aku tidak mengerti. Lebih baik aku tidur.”

Ia beranjak dari tempat ia duduk, mematikan lampu kamar, menghampiri tempat tidur, menarik selimut, kemudian menghadap tembok.

“Tembok, kamu jangan bosen-bosen denger cerita aku ya…”

Ia menutup mata dan mencoba tidur.
Sang nenek, masih tersenyum sambil duduk ditepi ranjang cucunya. Cucunya bicara dengan tembok. Bukan pertama kalinya ia melihat hal itu. Sejak ia pergi sepuluh tahun yang lalu, sesekali ia diam-diam mengunjungi cucunya bahkan sampai cucunya pun tak menyadari keberadaannya di sana. Mendengarkan racauan cucunya sampai si cucu lelah dan tertidur. Tapi si cucu tak pernah sekalipun bercerita lagi padanya seperti dulu, si cucu lebih suka bercerita dengan tembok. Dielusnya rambut sang cucu, sedikit kecupan di dahi lalu ia beranjak dari tempat tidur, sedikit demi sedikit sosoknya menjadi bayangan dan menghilang. Kunjungan ke kamar cucunya 
sudah berakhir, ia harus kembali ke tempatnya, dunianya di sana…




Selasa, 02 November 2010

Mencari Jawaban

Terkadang apa yang kita rasakan, sebenarnya bukan apa yang kita benar-benar rasakan. Sebenarnya pikiran kita bisa merekayasa sebuah perasaan di mana akhirnya jiwa kita diyakinkan kalau sebenarnya apa yang kita pikirkan itulah yang kita rasakan. Pikiran kita terkadang tidak bisa dimengerti. Tapi jauh lebih sulit untuk mengerti perasaan. Kadang saya bingung dengan sebuah kebermunculan dari perasaan yang seakan-akan datang seenaknya, secara sporadis, namun tidak dapat dimaknakan dengan rasio belaka, suara jiwa pun tidak dapat selalu membantu. Bertanya kepada orang lain juga tidak pernah membantu banyak, hanya dapat menguatkan jawaban yang sebenarnya selama ini sudah ada dalam diri dengan pembenaran-pembenaran belaka. Karena bagaimanapun, pikiran ini akan selalu mencari pembenaran untuk membenarkan perasaan yang tercipta ini. Membuatnya semakin sulit untuk dimengerti, membuat saya semakin cemas dengan fenomena pikiran dalam kebertubuhan yang semakin hari semakin meningkat absurditasnya. Duh jadi gelisah! Hehe..

Hm, Kalau saya punya waktu 1 jam buat ngobrol santai sama Tuhan, mungkin  saya bakal banyak bertanya tentang misteri pikiran, apa itu suara hati (apakah itu suara Tuhan?), dan entitas spiritual yang sering kita sebut jiwa manusia. Atau mungkin juga bertanya tentang jumlah kromosom x dan y manusia yang sama sehingga apakah benar kita semua sebenarnya memiliki kecenderungan menjadi homoseksual namun pikiran dan lingkungan yang pada akhirnya membentuk orientasi seksual kita? Atau bertanya kepada Tuhan, sebenarnya adakah agama yang paling benar? Apakah kita bener-bener akan mati, atau mati hanyalah sebuah jeda diantara siklus kehidupan?

Satu pertanyaan yang tidak akan mungkin terjawab, namun selalu membelenggu pikiran adalah. Apa tujuan Tuhan menciptakan kita semua? Menciptakan galaksi-galaksi, dunia, manusia, hingga semut terkecil. Ini semua bukan kebetulan semata, kan? Kamu percaya ini semua hanya sebuah kebetulan?
Kalau memang semua ini hanya kebetulan, saya mungkin akan semakin gelisah hidup di dunia ini. Karena segala sesuatu menjadi tak bermakna, tidak esensial.
Segala sesuatu memang memungkinkan. Namun kita tidak pernah tahu. 

Tidak ada yang benar benar tahu.

Feel

Terkadang kesel juga sih, kalau nanya sesuatu ke pramuwisma (eufimisme untuk pembantu. kenapa ya kata ‘pembantu’ kesannya kasar dan merendahkan? padahal memang dari kata dasar bantu, dengan awalan me-. hm), dan mereka sok sok ngga denger? Mungkin males kerja kali ya, ngga papa sih. Kadang sebagai pejuang HAM (cie), saya suka pengen memaklumi kalau terkadang manusia pasti punya batasan, dan harus dihargai hak-haknya. Kadang mungkin mereka ngerasa cape sampai pada akhirnya cuma pengen leha-leha sambil goyangin pinggul secara diam diam di bawah selimut sambil berdendang mendengarkan musik dangdut yang (menurut kuping saya) hampir semua lagunya nadanya sama.

Akhirnya, pertanyaan “Mba, baju yang warna putih ini sudah di setrika belum?” itu sampai detik ini ngga terjawab, padahal saya lagi berada di depan pintu gerbang kepramuwismaaan. Laju 5 langkah ke depan, mungkin saya udah bisa marah marah sok sinetron (tanpa pake efek zoom in zoom out dengan ritme yang sesuai dengan lagu backsound tak berlirik) kepada mereka, kalo kata montir sih.. di”gas” dikit. Ehm, naon..
Tapi dipikir-dipikir, buat apa sih manusia marah? Buat apa gitu kita mengeluarkan amarah ketika kita sedang merasa ingin mengeluarkan, memanifestasikan perasaan amarah itu? Beberapa kali saya sering terjebak dalam kemarahan saya sendiri dan rasanya ternyata kalau bener bener dirasain, aneh. Perasaan itu aneh, semua perasaan itu aneh seperti teman baru yang sok kenal padahal belum kenalan. Hehe.

Marah, seneng, sedih.. Itu semua perasaan. Perasaan, sempet terpikir, munculnya darimana ya? Saya pernah berbingung-bingung ngomongin hal ini, dan berujung kepada kebingungan yang abadi. Wets! Hehe. Kalau misalnya kita lagi sedih dan baru disakitin (hmm), aneh aja gitu! Hati (bukan lever, bukan jantung), pokoknya ada sesuatu yang ngga tampak secara fisik tapi sering kita sebut hati, ya pokoknya yang terletak di sekitar daerah dada sebelah kiri, itu sakit. (pengecualian buat para wanita di luar sana yang lagi mens mungkin dadanya agak terasa sakit terlebih dahulu haha). Sakitnya kaya ditusuk, hmm.

Jadi sebenernya, perasaan itu letaknya dimana? Apa perasaan itu sebenarnya hasil dari pemikiran? Hasil dari otak? Kayanya sih iya (sotoy nih kayanya, haha), karena saya sering ngerasa kalau kita merasa senang karena beberapa alasan, misalnya karena memori yang pernah menampung perasaan yang sama dan dapat mengulangnya kembali dan mendeteksi perasaan kebahagiaan itu, atau pikiran yang membuat kita melihat sebuah kejadian dengan penuh apriori dan menghasilkan perasaan benci atau sedih. Jadi mungkin udah jelas (sotoy maning), kalau pikiran dan perasaan memiliki sebuah korelasi yang kuat. Tapi korelasi itu tidak selalu menyebabkan kausalitas. Hm?

Karena terkadang ada beberapa hal yang ngga bisa dijelaskan oleh ilmu, dan ada beberapa perasaan yang ngga bisa diukur dan dikualifikasi oleh pikiran, karena pikiran terkadang mempersempit volume dan intensitas sebuah perasaan.

That is why it is better sometimes to close our eyes and just feel.
Feel the universe sending all the love your way.
For we are all connected, we are one, we are us.
(Ehem, sok sok inspiratif. Haha!)