Selasa, 28 September 2010

cerita pendek tentang si jek

Saya sering melihatnya di terminal. Kulitnya hitam legam, badannya kurus berotot, mukanya penuh jerawat tapi sorot matanya tajam. Kali pertama saya memperhatikannya adalah ketika dia menjadi kenek bis yang saya tumpangi. Waktu itu dia hampir berkelahi dengan sopir bis yang lain karena rebutan penumpang. Bicaranya kasar dan suaranya keras. Saya kurang paham duduk perkaranya apa, tapi kejadian itu akhirnya berakhir dengan kami semua pindah ke bis yang lain. Saya ingat dia bersumpah serapah dengan kata-kata kasar dan jorok. Teriakannya menggelegar namun nyaring dan khas.

Kali kedua saya memperhatikannya adalah ketika dia sedang nongkrong di bawah jembatan penyebarangan tempat bis yang saya tumpangi ngetem. Dia sedang merokok dan tangannya asik bermain handphone. Saya langsung mengenali karena secara tidak sengaja kami beradu pandang. Saya segera ingat tatapan matanya yang dingin ketika dia hampir berkelahi tempo hari. Waktu itu saya bertanya-tanya. Apa ya yang dia pikirkan? Apakah dia sudah menikah? Apakah dia punya keluarga? Apakah dia hidup di jalanan? Apakah dia preman? Saya memperhatikan dia memakai kaos bergambar Harry Roesly. Apakah dia bisa bernyanyi atau main gitar atau main biola?

Tiba-tiba dia berdiri dan menuju ke pojokan. Dia buang air di pojokan itu. Saya perhatikan lagi celana jeansnya yang ketat dan ikat pinggang besarnya itu. Celana itu melorot di pantat dan saya bisa melihat boxernya berwana hijau kusam. Saya juga memperhatikan rambutnya yang dipotong dengan model asimetris. Inikah gaya alay yang dibicarakan orang-orang? Jadi dia termasuk golongan alay? Sesampainya saya di rumah, sesekali saya teringat dengan kenek itu. Tatapan mata dinginnya seolah menusukku sampai ke hati.

Kali ketiga saya memperhatikannya adalah ketika dia sedang menjadi kenek untuk bis dengan rute yang lain. Waktu itu saya sedang menunggu bis. Tiba-tiba dia turun dari bis yang bukan rute biasanya. Dia turun untuk memberikan setoran ke preman setempat, membeli rokok dan segera pergi. Kemunculannya menarik perhatian orang di sekitar karena bis yang membawanya berhenti sembarangan dan mendapat klakson dari mobil-mobil lain. Dia memaki dengan kata-kata kasar. Suaranya menggelegar khas, berteriak sambil menggebrak badan bisnya. Sikapnya sungguh-sunguh bar-bar. Kalau tidak salah dengar, si penjual rokok sempat memanggilnya dengan sebutan Jek.Jadi itu mungkin namanya.

Setelah itu, lama saya tidak melihatnya lagi. Barulah awal bulan ini, ketika bis yang saya tumpangi ngetem diterminal menunggu penumpang, saya tak sengaja melihatnya di sebuah warung bersama seorang wanita yang tengah hamil dan mereka bergandengan tangan. Itukah istrinya? Apakah mereka menikah resmi? Apakah itu sebabnya dia tidak pernah ngenek lagi? Apa dia sekarang sudah jadi preman terminal ini? Selama bis yang kutumpangi ngetem, selama itu pula saya memperhatikannya. Dia terus menerus merokok di samping wanita hamil itu. Sekali-kali meludah dan berbicara dengan telfon genggamnya. Gayanya cocok benar jadi kepala preman terminal ini. Ketika saya asik mengamatinya, mata kami tiba-tiba beradu pandang. Rasanya dingin.

Sekitar seminggu kemudian ketika saya turun di terminal, ada gerombolan ramai orang berkumpul.
“Ada copet digebukin!”.
“Bego sih, nyopet di sini.”
Saya langsung merasa ngeri, tapi tetap saja ikut berkerumun berusaha melihat apa yang ada di tengah-tengah kerumunan itu. Walau tidak jelas, saya melihat ada orang yang sedang memukuli dan menendang orang yang satunya lagi. Orang yang ditendangi mengaduh-ngaduh memegang kepalanya yang berdarah. Suara mengaduhnya makin lama makin pelan, dan akhirnya hilang. Entah kenapa orang-orang yang berkerumun ini malah asik menonton saja.

“An***g lu t**k! Ng****t aja kerja lo b***!”
Teriakan itu terdengar begitu nyaring dan saya mengenali suara itu. Itu suara Jek.
Saya merinding. Jek ngapain? Apa dia yang menggebuki orang itu? Apa orang yang digebuki itu mati? Kapan perkelahian ini berhenti? Tiba-tiba ada suara lain lagi.

“Ada Polisi!”
Kerumunan tertib itu langsung panik. Sekonyong-konyong memang ada suara sirine polisi. Saya segera berjalan menjauhi kerumunan menuju arah rumah sambil beberapa kali menengok kembali ke arah kerumunan itu. Di tengah kekacauan itu, saya sekilas melihat Jek masih memegangi kerah baju si copet dan walau sesaat saya yakin, entah bagaimana caranya, bahwa kami sempat saling tatap. Rasanya masih dingin.

Setelah kejadian itu saya tidak pernah lagi melihat Jek. Sesekali di terminal saya kadang melihat wanita hamil yang bersama Jek waktu itu. Kadang dia bergandengan dengan orang lain, kadang sendiri. Oiya, anaknya sudah lahir. Sore ini saya melihat wanita itu dan anaknya duduk di warung terminal. Dan saya berhasil menatap mata anak itu. Rasanya dingin.

4 komentar:

an ismanto mengatakan...

Ini cerita mini, cerita pendek, atau jurnal ya? Menurut saya akan menjadi lebih bagus kalau diolah menjadi cerpen yang lebih panjang. Sosok si Jek bisa dieksplorasi secara ambigu: perwatakannya bisa dilukiskan sebagai preman yang jahat atau ayah yang baik kepada keluarga. Eh, malah bisa memberi inspirasi lho....

LaNia mengatakan...

dari temanya kan sudah terlihat kalau itu adalah cerita pendek, dan kalau saya menceritakan lebih panjang kalau begitu bukan namanya lagi cerita pendek tetapi menjadi cerita panjang, bukan kan begitu?
mungkin nanti saya akan melanjutkan cerita part2 tentang si jek ini tapi saya tidak tahu kelanjutanya bagaimana hanya sang waktu yang akan menjawabnya karena saya menulis cerpen ini sesuai dengan kenyataan dan fakta bahwa si jek ini memang benar2 ada.

LaNia mengatakan...

tapi thanks ya atas masukannya

Wisata-Kuliner mengatakan...

wah,, sering liat parno di terminal toh..
wkwkwk
*kabur*