Rabu, 10 Februari 2010

Waktu yang terhenti

Aku terpana dengan setengah mulut ternganga. Kalau saja jam meja di kamarku tidak mati mungkin aku tidak bangun kesiangan, barangkali aku belum tentu menyadari bahwa jam meja kamarku sebenarnya sudah lama mati. Ya, sudah lama sekali. Seminggu? Rasanya tidak. 2 minggu? Aku mengernyitkan kening. Tidak, bisa jadi lebih dari itu.


Mataku tegak memandang pada jam meja yang bisu terpajang. Ia terpampang di sisi dinding yang sejajar dengan pintu kamar. Kedua jarum membentuk sudut tumpul, menunjukkan pukul 10.10. Konon, seperti umumnya sebuah iklan arloji, hal itu sengaja dilakukan agar merek arloji tersebut jelas terlihat. Tapi, aku tahu bukan aku yang sengaja mengatur sudut jam itu. Bukan aku yang sengaja menghentikannya tepat pada waktu tersebut. Dan, ya, bukan aku pula yang sengaja membiarkannya terhenti dan lantas mati seperti pada saat ini.


Lantas kalau begitu dengan apa biasanya aku menebak waktu? Kusapu pandangan di meja kamar. Ada ponsel dan Ada arloji. Ya, semuanya menjadi andalanku untuk tahu waktu. Barangkali, lantaran itulah aku tidak pernah memperhatikan atau bahkan memperdulikan jam meja itu. Hingga ia akhirnya perlahan terhenti dan lalu mati.


Entah mengapa, tiba-tiba saja aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari jam meja berwarna merah muda itu. Aku tertegun seiring pikiranku yang begitu saja melayang terayun. Jarum jam meja yang terhenti seperti menjadi cermin diri. Denyut rutinitas hidup keseharian yang terus berdetak, membuatku terlupa ada hal-hal tertentu dalam hidup yang sebenarnya harus terus bergerak.


Barangkali, seperti itu pula aku menjalani hidup. Mungkin pernah sesuatu yang sebenarnya harus tetap bergerak dalam perjalanan hidupku, namun malah kubiarkan terhenti dan lalu mati. Jam meja yang mati itu kuibaratkan seperti harapan, angan, cita-cita, impian, keinginan, atau bahkan obsesi dalam hidup yang tak sempat terwujud. Namun ketika aku tak begitu ambil peduli, perlahan kesemua itu terhenti dan lalu mati.


Aku terdiam, menghela nafas panjang. Betapa celoteh benakku tentang jarum jam ini seolah falsafah ringan yang menyadari dan harus kulakoni. Dalam hidup dan kehidupanku.

Perlahan aku berjingkat di atas kasur, menggapai jam meja tadi.

Mengganti baterainya agar ia kembali berdetak.

Agar ia kembali bergerak.



Tidak ada komentar: